Jumat, 29 Juni 2012

true love? #3


Maka cinta yang menjawab semua keluh kesah… cinta yang membuat semuanya menjadi mungkin… ia yang menjadikan semuanya tulus…

Malam saat Fram sekarat.. silahkan simak… (diambil dari salah satu kisah dalam "sejuta rasanya- Tere Liye")

Lama sekali istri Fram memandangai belibis ditangannya. Mendadak ia merasakan ada yang ganjil. Lihatlah, mata belibis itu menyimpan perasaan takut kehilangan sesuatu. Cemas berpisah dengan sesuatu. Istri Fram mengenali tatapan itu. Tatapan itu sama seperti miliknya, tatapan yang amat takut kehilangan suaminya. Takut berpisah dengan suaminya.

Fram semakin kejang. Mengeluh tertahan. Istri Fram gemetar mengambil pisau. Sekali lagi menatap mata belibis dalam jepitan tangannya. Belibis ini pasti memiliki pasangan, sama seperti dirinya yang memiliki pasangan. Tidak. Istri Fram berkata lirih. Malam ini, jika sepotong daging itu akan mengobati suaminya, itu tidak akan berasal dari belibis elok ini.

Biarlah dewa-dewi menjadi saksi. Biarlah semua ini menjadi bukti cinta sejatinya. Istri Fram sambil menggigit bibir gemetar meneaskan pisau tajam. Bukan ke leher belibis, tapi ke betis kakinya. Sempurna memotong. Malam itu istri Fram memberikan daging miliknya.

Ia melepas pergi belibis jelmaan itu. Itulah yang terjadi. Malangnya, belibis jantan yang hendak kembali terbang ke langit terjerambab di pecahan es di danau. Mati tenggelam tanpa seorangpun tahu, juga termasuk pasangan betinanya. Malam itu, istri Fram telah membuktikan cinta sejatinya. Andaikata demi kesembuhan suaminya ia harus memberikan jantungnya, maka itu pasti akan diberikannya.

Begitulah… maka malang sekali Fram menurutku, yang sama sekali buta tentang cinta. Bagiku  sendiri, cinta itu tak mempunyai tujuan.. jika ada cinta yang mempunyai tujuan, maka ia akan dikhianati oleh tujuannya tersebut.

<the end>

Kamis, 28 Juni 2012

true love? #2

dan adakalanya cinta diuji untuk mengetahui apakah ia benar-benar cinta sejati....

silahkan disimak lanjutan kisah Fram dan Istrinya (diambil dari buku "sejuta rasanya- Tere Liye"


Tapi cerita yang lebih menyedihkan baru saja dimulai. Tidak ada yang tahu kalau seekor belibis itu memiliki pasangan. Menuut keyakinan penduduk kota kami, dalam waktu tertentu dewa-dewi surge akan turun menjejak bumi. Celakanya elibis itu turun di waktu dan tempat yang salah.

Fram dan istrinya kembali keseharian mereka dulu yang menyenangkan. Tubuh Fram kembali kekar. Ia mengambil alih tugas istrinya selama ini. Terlebih kaki istrinya pincang sekarang, terpotong hingga pangkal betis. “terkena pohon cemara yang roboh. Membusuk. Jadi aku potong!” Istrinya menjelaskan. “kau tetap cantik meski pincang, istriku!” fram bergurau riang. Istrinya bersemu merah. Dan kebahagiaan mereka semakin lengkap saat enam bulan kemudian istrinya hamil. Benar-benar kabar yang menyenangkan.

Saat kandungan istrinya menjejak tujuh bulan, terjadilah peristiwa aneh itu. Fram yang sedang berburu rusa di hutan cemara, tidak sengaja melihat seekor belibis indah. Fram berkali-kali jatuh mengejar belibis itu hingga ke tepi danau. Melupakan banyak keganjilan. Dan terperanjatlah! Ia tidak menemukan seekor belibis yang sedang berenang, melainkan seorang wanita yang sedang mandi.

Apakah cinta sejati itu? Apakah ia sebentuk perasaan yang tidak bisa dibagi lagi? Apakah ia sejenis kata akhir dari sebuah perasaan? Tidak akan bercabang? Tidak akan membelah diri lagi? Titik? Penghabisan? Bukankah lazim seseoang jatuh cinta lagi padahal sudah berjuta kali bilang ke pasangan-pasangan lamanya “Ia adalah cinta sejatiku!”

Entah bagaimana caranya, Fram jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis belibis tersebut. duhai! Celakalah urusan ini! Jalan kisah menjadi berpilin menyakitkan. Bukannya menghabiskan waktu bersama    istrinya yang sedang hamil tua dirumah, Fram malah lebih banyak duduk di tepi danau. Bercengkama dengan gadis itu.

Di mata Fram, gadis itu sungguh menyenangkan. Memesona. Pakaiannya indah berkilauan. Perhiasannya cemerlang. Wajahnya bagai guratan sempuna pematung tersohor. Tubuhnya memikat. Fram benar-benar jatuh cinta. Tak pernah ia menyadari, ternyata cinta bisa sehebat ini.

Malangnya nasib istri Fram, seminggu sudah suaminya tidak pulang-pulang. Ia hanya menunggu cemas di bawah pintu. Sementara perutnya semakin memmbuncit. Dua minggu lagi bayinya akan lahir. Ditengah putus asanya menunggu, pagi itu, persis saat cahaya matahari menerabar sela dedaunan pohon cemara, persis saat bunga-bunga bermekaran di halaman pondok, istri Fram memutuskan mencari suaminya.

Pencaharian yang menyesakkan. Dengan sepotong tongkat, istri Fram menopang tubuhnya yang kesusahan menyisir hutan cemara. Dan lebih menyesakkan lagi saat ia akhirnya menemukan Fram yang sedang tergila-gila cinta, berdua dengan gadis cantik itu
.
Tersungkurlah istri Fram. Lirih memanggil suaminya. Duhai, Fram hanya melirik selinta, lantas menyuruhnya pergi. Seperti tidak pernah mengenalnya. Seperti tidak pernah mengenalnya.

Menangis istri Fram. Lemah berusaha memeluk kaki suaminya. Fram justru mengibaskannya. Membuat tubuh dengan perut buncit itu jatuh terjungkal. Tongkat yang dibawanya tak sengaja mengenai kepala. Istri Fram mengaduh kesakitan. Meski ada yang lebih sakit lagi di hatinya.

Dimanakah janji cintanya? Dimanakah? Semuanya musnah disaat mereka harusnya sedang berbahagia menanti kelahiran naak pertama mereka. Istri Fram gemetar berusaha berdiri. Lirih memanggil dewa-dewi surge demi sebuah keadilan. Ia gemetar berdiri dengan sebelah kakinya, pincang berusaha mencengkeram bebatuan.

Fram tidak peduli. Menarik tangan gadis belibis, mengajaknya pergi menjauh. Tapi, sebelum hal itu terjadi, dewa-dewi surge yang melihat kejadian itu turun ke bumi. Mengungkung tepi danau dnegan gemerlap mereka.

“siapakah yang memanggil dan meminta penjelasan?”

“aku.. “ istri Fram menjawab lirih.

Dan menjadi teranglah urusan itu. Gadis cantik itu adalah penjelmaan pasangan belibis yang tersesat di pondok Fram dua tahun silam. Justru gadis cantik itu menuntut keadilan. Istri Fram tersedu mendengar tuntutan itu, ia tidak menyangka urusan berubah sedemiakian rupa.

“Baik, yang terjadi biarlah terjadi. Maka biarlah Fram yang memutuskan masalah ini. Apakah ia akan memilihmu atau memilih gadis belibis. Wahai, karena kau seorang manusia, dan gadis belibis ini separuh dewa-dewi, maka kami akan memberikan kau tiga kali kesempatan untuk menghilangkan kelebihan miliknya atau menambah keleihan milikmu. Setelah itu, apakah Fram akan memilihmu atau gadis belibis itu teserah padanya.”

Isti Fram menyeka air matanya.

“aku ingin seluuh sihir gadis ini dihilangkan.”

Cahaya yang mengungkung gadis elibis ini mendadak lenyap. Pakaiannya kehilangan kemilau. Perhiasannya beubah menjadi keikil batu. Duhai, tetap saja ia terlihat lebih cantik dari siapapun di tempat itu. Tetap memesona. Fram dengan mudah memutuskan memilih gadis belibis itu. Istri Fram mengeluh tertahan.

“Aku ingin seluruh sihir yang masih mengungkung suamiku dihilangkan!” Istri Fram menyebut permintaan keduanya. Gentar sekali menunggu hasilnya.

Sekejap cahaya yang membalut tubuh Fram sejak pertama kali ia melihat buung belibis itu menghilang. Sihir pesona itu lenyap. Petani miskin itu teiba-tiba seperti baru tersadakan. Tetapi, wahai, apalah arti cinta sejati? Gadis belibis itu tetap memesona meski sihirnya tidak lagi menutup mata dan menebalkan otaknya. Fram sekali lagi tega memilih gadis belibis itu.

Istri Fram jatuh terduduk.

Oh, dimanakah sisa-sisa janji itu? Dimanakah?
“Aku ingin Fram melihat janji kebahagiaan yang diberikan oleh bayi yang kukandung!” istri Fram bekata lirih. Menyebut kesempatan ketiga sekaligus terakhinya.

Siluet cahaya menggetarkan mengungkung kepala Fram. Ia seperti menyaksikan visualisasi nyata masa depan mereka. Kehidupan yang menyenangkan di pondon bersama anak-anak meaka. Taman bunga di tepi danau. Tetapi, apalah gunanya janji masa depan itu? Fram mengibaskannya. Ia merasa memiliki janji kehidupan yang lebih indah besama gadis belibis ini. Fram mendesis, memilih gadis belibis.

Fram meraih tangan gadis belibis disebelahnya. Mengajaknya pergi. Matanya benar-benar dibutakan oleh tampilan. Tega sekali ia memberangus kehidupan bersama istrinya. Dewa-dewi menghela napas tertahan. Apapun hasilnya, semua sudah selesai. Meeka beranjak hendak pergi. Saat itulah salah seoang dewa-dewi itu berkata lirih.

“kenapa kau tidak menggunakan kesempatan terakhirmu untuk menunjukkan kejadian yang sebenanya, wahai wanita yang malang.”

Wajah-wajah tertoleh, seorang dewa yang amat cemerlang wajahnya terbang mendekati istri Fram.
“Kenapa kau justru menggunakan kesempatan terakhirmu untuk memperlihatkan janji masa depan?”
Istri Fram tersedu, menggeleng, menyeka pipinya.

“Wahai wanita yang malang, kenapa kau tidak meminta kami menunjukkan dengan nyata kejadian malam itu. Agar suamimu melihatnya. Agar gadis belibis ini melihatnya.”
Istri Fram berkata lirih, tertahan, “Aku tidak ingin cintanya kembali karena dia merasa berhutang budi.”

Dewa dengan wajah cemerlang itu tertawa getir…

“Kau melakukannya karena cinta, wahai wanita yang malang. Maka tidak ada hutang budi. Ah, urusan ini benar-benar menyakitkan!” Dewa itu menoleh ke arah Fram dengan tatapan menghinakan, “Kau tidak pernah tau mengapa istimu pincang, wahai pemuda yang sepatutnya deikasihani. Dan kau, gadis belibis yang menyedihkan, kau tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan belibis pasanganmu. Biarlah hai ini seluruh dewa-dewi menjadi saksi, dalam urusan cinta ini mereka yang dibutakan oleh duniawi tidak akan pernah mengerti hakikat cinta sejati.”

Maka melesatlah dewa dengan wajah cemerlang itu ke angkasa, menyusul dewa-dewi lainnya. Meninggalkan istri Fram yang menangis tersungkur sendirian. Istri Fram yang hamil tua. Istri Fram yang menyimpan kisah sesungguhnya apa yang terjadi malam itu, ketika suaminya sekarat. Peristiwa yang tidak ingin ia perlihatkan pada suaminya, hingga suaminya merasa berhutang budi.
Fram dan gadis itu justru sudah pegi segera.

Maka apa yang kau pikirkan tentang Fram? Apa yang terlintas dibenakmu tentang istrinya? Yang jelas, semuanya terasa menyakitkan sampai ke hulu jantung. Betapa teganya Fram meninggalkan istrinya yang sedang mengandung karena tergila-gila dengan gadis yang rupawan? Maka siapa yang memiliki cinta yang tulus? Apa senarnya yang terjadi pada malam yang disesalkan para dewa itu? Ah, semuanya serba menambah rempah-rempah pertanyaan di benakku saat itu meskipun aku sudah menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. 

to be continued

true love? #1

Apakah cinta sejati itu? Apakah ia sebentuk perasaan yang tidak bisa dibagi lagi? Apakah ia sejenis kata akhir dari sebuah perasaan? Tidak akan becabang? Tidak akan membelah diri lagi? Titik? Penghabisan?

Ada sebuah kisah yang membuatku terperangah  dari salah satu cerita yang penuh rasa dalam buku Tere Liye “berjuta rasanya”. Kisah ini sungguh pilu, menawan, dan menyakitkan. Aku terhanyut dalam derasnya sungai emosi.. penyesalan, pengorbanan, ketulusan..
 Silahkan disimak…

Dua ratus tahun silam…

Legenda itu dimulai disini. Legenda yang selalu diceritakan turun temuun oleh tetua kota. Diwariskan dari satu geneasi ke generasi berikutnya. Denan pesan sederhana, jangan pernah mengulangi kesalaha yang dilakukan Fram, si petani miskin.

Alkisah, Fram amat beruntung mendapatkan istri yang sempurna. Kembang kota. Diantara puluhan pemuda yang menyanjung dan menyatakan cinta, gadis itu justru memilih Fram, pemuda miskin yang tinggal dekat danai kota. Meninggalkan janji kehidupan yang lebih baikyang bisa diberikan pemuda kaya lainnya. Tidak juga, gadis itu dihari pernikahannya tersenyum riang dan berkata, “Aku akan menjemput janji cintaku, tidak ada janji kehidupan yang lebih hebat dari itu bukan?”

Awalnya keluarga kecil itu memulai kehidupan bahagia selama lima tahun. Walau miskin, meeka selalu merasa berkecukupan. Apalagi istrinya, tidak banyak menuntut selalin perhatian dan kasih sayang.

Sayang, di penghuung tahun kelima pernikahan meeka, musim dingin datang tak teperikan. Kota dikungkung badai salju berhari-hari. Berminggu-minggu, berbulan-bulan. Tidak ada yang tahu hingga kapan. Salju dimana-mana. Pohon-pohon meranggas dialut gumpalan es. Kembang-kembang layu ditimbun tumpukan es. Danau membeku. Dan tidak ada yang berniat menjejak laut yang setiap hari digantang angina badai.

Seluuh kota mengalami kesulitan besar. Berebut makanan menjadi pemandangan sehari-hari. Enam bulan kemudian, harga sepotong roti tawar sebanding dengan sebutir peluru. Tak ada yang bisa mengalahkan urusan perut. Kota kami yang elok bertetangga selama ini, carut-marut oleh perkelahian. Dan celakanya, itu semua belum cukup, penyakit aneh mendadak menjalar dengan cepat. Tubuh-tubuh lumpuh. Muka pucat. Bibir membiru. Dan kematian silih berganti menghampiri.

Enam bulan semenjak penyakit aneh itu tiba, kota kami benar-benar tak tertolong. Sepanjang hari hanya kidung sedih yang terdengar. Nyanyian duka-cita. Pemakaman demia pemakaman. Bagaimana dengan Fram dan istrinya? Jika di kota saja urusan pelik, apalagi mereka. Enem bulan pertama setelah menghabiskan cadanga umbi-umbian di gudang. Enam bulan berikutnya mulailah cerita memilukan penuh pengorbanan tersebut. Fram terkena penyakit ganjil itu.

Tubuhnya membeku di atas ranjang. Tanpa bisa digerakkan. Tinggallah istrinya yang kalut oleh banyak hal. Ia tahu persis, sejak memutuskan menikah dengan Fram, bahwa tentu saja tidak setiap hari janji kebahagiaan itu akan datang dalam kehidupan cinta mereka. Adakalanya masa getir tiba. Dan saat itu benar-benar terjadi, tiba waktunya untuk menunjukkan betapa besar cinta itu. Bukan sekedar omong kosong.

Tak pernah terbayangkan tangan lembut itu mengais-ngais tumpukan salju, beusaha menemukan sisa umbi-umbian yang tersisa. Terseok mengumpulkan kayu bakar di hutan. Melubangi permukaan danau, mencoba peruntungan mendapatkan ikan. Memperbaiki atap rumah yang rusak. Menambal dinding-dinding yang sobek oleh badai salju.

Istri Fram bejanji akan bertahan hidup.

Dan semakin menyedihkan pemandangan itu, karena setiap malam ia dengan sabar merawat suaminya yang terbaring lumpuh diatas tika. Menyuapinya dengan penuh kasih sayang. Menggendong tubuh suaminya yang semakin ringkih mendekati perapian. Membuang sisa kotoran suaminya dari atas ranjang. Memandikannya dengan air hangat. Istri Fram bersumpah akan bertahan hidup, demi suaminya.

Dua belas bulan berlalu. Musim tak menunjukkan tanda-tanda akan berbaik hati. Kerusuhan besa menjalar di kota kami. Kecamuk orang-orang yang kelaparan semakin menjadi-jadi. Dan ditengah kota yang sekarat itu, seorang peziarah-entah dari mana datangnya-singgah. Peziarah itu amat teganya mengatakan kalimat yang paling tidak logis agi penduduk kota, semua penyakit aneh ini bisa disembuhkan dengan memakan daging. Astaga, dimana lagi mereka akan menemukan daging hari ini? Seluruh ternak tak bersisa. Seluruh cadangan makanan tak berbekas.

Keadaan Fram semakin menyedihkan. Sehari kemudian, tunuhmya mendadak kejang-kejang. Sekarat. Istrinya panic. Malam itu juga sambil terseok-seok ia menggendong Fram menuju kota. Meminta pertolongan tabib. Badai datang menghajar apa saja. Pohon cemara bertumbangan. Istri Fram mendesis,menggigit bibir berusaha melalui badai salju. Entah dari mana kekuatan itu, dia tiba dikota keesokan harinya. Dengan tubuh biru, kedinginan.

Sayang, tidak ada petolongan yang tersisa di kota. Tabib mengangkat bahu, menatap amat prihatinnya. “aku tidak tahu, apakah yang dikatakan peziarah itu benar atau tidak. Berikan suamimu sepotong daging! Semoga itu menyembuhkannya!” istri Fram sungguh menatap tak percaya. Kecewa. Sedih. Setelah perjalanan melelahkan ini, ternyata hanya untuk mendengarkan pernyataan gila itu? Gemetar dengan sisa tenaga ia membawa Fram kembali ke tepi danau. Menyedihakan. Tubuhnya yang semakin kurus ringkih itu terhuuyung, mencoba terus bertahan.

Jangankan daging, sepotong umbipun sudah sulit didapat. Ia sudah membongkar seluruh bekas kebun suaminya. Tidak ada. Kalaupun ada, sudah membusuk. Ikan-ikan di danau itu juga netah pergi kemana. Istri Fram menangis. Menatap wajah suaminya yang semakin sekarat. Ia tahu, sesejati apapun cinta mereka, pastilah mengenal perpisahan. Ia tahu sekali itu. Tapi ia ingin berpisah dengan suaminya dalam sebuah pelukan yang indah. Saat satu sama lain bisa saling menyebut nama. Bukan seperti ini. Malam itu suaminya benar-benar tidak tertolong lagi. Istri Fram tersedu memeluk tubuh suaminya.

Tetapi, hey! Sudut matanya menangkap seekor belibis hinggap di jendela. Belibis? Istri Fram menyeka ujung matanya. ganjil sekali. Bagaimana ada seekor belibis dimusim dingin seperti ini? Tapi ia tidak sempat memikirkannya. Dengan gesit ia berusaha menangkap belibis tersebut. jatuh bangun berkali-kali. Mantelnya sobek. Setengah jam berlalu, stelah mengerahkan sisa-sisa tenaga tubuhnya, ia tersenyum lebar menjepit sayap belibis tersebut.

Malam itu, takdir langit di tepi langit itu berubah. Sepotong daging yang masuk ke tubuh Fram mengembalikan kesehatannya. Malam itu, takdir langit di kota kami juga berubah. Musim dingin berkepanjangan tersebut berakhir. Digantikan semburat cahaya matahari pagi. Gumpalan salju mencair. Kecambah mekar tak terbilang. Tunah tumbuh menghijau. Janji kehidupan baru datang.

bagaimana sejauh ini? apakah sudah terlihat apa cinta sejati itu? bagiku sudah cukup dengan istri Fram yang tetap setia merawat suaminya yang hampir memutus kehidupan didunia ini. namun, itu smeua belum terlihat jelas. sesungguhnya puncak dahaga yang membuatku terbawa arus emosi adalah dengan cerita selanjutnya.... 

to be continued..

Senin, 25 Juni 2012

tak hanya aksi, tapi juga berbagi

mahasiswa...
segelintir pemuda yang beasal dari rakyat...
pemuda yang senantiasa menjadi tempok kekuatan dan penghubung antara rakyat dan pemegang kuasa..
telah melekat bagi siapapun, jika mendengar kata mahasiswa pasti yang terbayang adalah demo, dpr dan lain lain....
demo dan segala macam tindakan (positif) yang dilakukan mahasiswa itu semata-mata untuk kepentingan rakyat.... seperti yang kita ketahui, saat rapat paripurna tentang kenaikan BBM.. saat itu mahasiswa menjadi saksi kesemrawutan paa wakil rakyat saat mengambil keputusan.. hingga pada saat kesabaran para mahasiswa diuji, meeka diketakan sebagai pembuat onar.. padahal itu semua demi rakyat..
berbagai macam aksi terhadap peraturan pemerintah yang dianggap telah merugikan diadakan oleh mahasiswa...
namun, untuk benar-benar meresapi dan sungguh-sungguh dalam menggencarkan aksi turun kejalan, mahasiswa perlu untuk merasakan bagaimana kehidupan akyat yang sesungguhnya.. banyak kegiatan pengabdian yang dilakukan oleh mahasiswa... contohnya ketika saya mengikuti 2 rangkaian acara pengabdian selama dua minggu berturut-turut (jakarta hidden tour oleh BEM UI dan FIK mengabdi oleh BEM FIK), saya benar-benar merasakan susahnya hidup ini..

mahasiswa... tak punya kepentingan apapun dalam membela rakyat..
semangat juang yang tulus,, tak mementingkan materil...
berbagi penuh keikhlasan
beraksi penuh perjuangan