Apakah cinta
sejati itu? Apakah ia sebentuk perasaan yang tidak bisa dibagi lagi? Apakah ia
sejenis kata akhir dari sebuah perasaan? Tidak akan becabang? Tidak akan
membelah diri lagi? Titik? Penghabisan?
Ada sebuah
kisah yang membuatku terperangah dari
salah satu cerita yang penuh rasa dalam buku Tere Liye “berjuta rasanya”. Kisah
ini sungguh pilu, menawan, dan menyakitkan. Aku terhanyut dalam derasnya sungai
emosi.. penyesalan, pengorbanan, ketulusan..
Silahkan disimak…
Dua ratus
tahun silam…
Legenda itu
dimulai disini. Legenda yang selalu diceritakan turun temuun oleh tetua kota. Diwariskan
dari satu geneasi ke generasi berikutnya. Denan pesan sederhana, jangan pernah
mengulangi kesalaha yang dilakukan Fram, si petani miskin.
Alkisah,
Fram amat beruntung mendapatkan istri yang sempurna. Kembang kota. Diantara
puluhan pemuda yang menyanjung dan menyatakan cinta, gadis itu justru memilih
Fram, pemuda miskin yang tinggal dekat danai kota. Meninggalkan janji kehidupan
yang lebih baikyang bisa diberikan pemuda kaya lainnya. Tidak juga, gadis itu
dihari pernikahannya tersenyum riang dan berkata, “Aku akan menjemput janji
cintaku, tidak ada janji kehidupan yang lebih hebat dari itu bukan?”
Awalnya
keluarga kecil itu memulai kehidupan bahagia selama lima tahun. Walau miskin,
meeka selalu merasa berkecukupan. Apalagi istrinya, tidak banyak menuntut
selalin perhatian dan kasih sayang.
Sayang, di
penghuung tahun kelima pernikahan meeka, musim dingin datang tak teperikan.
Kota dikungkung badai salju berhari-hari. Berminggu-minggu, berbulan-bulan.
Tidak ada yang tahu hingga kapan. Salju dimana-mana. Pohon-pohon meranggas
dialut gumpalan es. Kembang-kembang layu ditimbun tumpukan es. Danau membeku.
Dan tidak ada yang berniat menjejak laut yang setiap hari digantang angina
badai.
Seluuh kota
mengalami kesulitan besar. Berebut makanan menjadi pemandangan sehari-hari.
Enam bulan kemudian, harga sepotong roti tawar sebanding dengan sebutir peluru.
Tak ada yang bisa mengalahkan urusan perut. Kota kami yang elok bertetangga
selama ini, carut-marut oleh perkelahian. Dan celakanya, itu semua belum cukup,
penyakit aneh mendadak menjalar dengan cepat. Tubuh-tubuh lumpuh. Muka pucat.
Bibir membiru. Dan kematian silih berganti menghampiri.
Enam bulan
semenjak penyakit aneh itu tiba, kota kami benar-benar tak tertolong. Sepanjang
hari hanya kidung sedih yang terdengar. Nyanyian duka-cita. Pemakaman demia
pemakaman. Bagaimana dengan Fram dan istrinya? Jika di kota saja urusan pelik,
apalagi mereka. Enem bulan pertama setelah menghabiskan cadanga umbi-umbian di
gudang. Enam bulan berikutnya mulailah cerita memilukan penuh pengorbanan
tersebut. Fram terkena penyakit ganjil itu.
Tubuhnya
membeku di atas ranjang. Tanpa bisa digerakkan. Tinggallah istrinya yang kalut
oleh banyak hal. Ia tahu persis, sejak memutuskan menikah dengan Fram, bahwa
tentu saja tidak setiap hari janji kebahagiaan itu akan datang dalam kehidupan
cinta mereka. Adakalanya masa getir tiba. Dan saat itu benar-benar terjadi,
tiba waktunya untuk menunjukkan betapa besar cinta itu. Bukan sekedar omong
kosong.
Tak pernah
terbayangkan tangan lembut itu mengais-ngais tumpukan salju, beusaha menemukan
sisa umbi-umbian yang tersisa. Terseok mengumpulkan kayu bakar di hutan.
Melubangi permukaan danau, mencoba peruntungan mendapatkan ikan. Memperbaiki
atap rumah yang rusak. Menambal dinding-dinding yang sobek oleh badai salju.
Istri Fram
bejanji akan bertahan hidup.
Dan semakin
menyedihkan pemandangan itu, karena setiap malam ia dengan sabar merawat
suaminya yang terbaring lumpuh diatas tika. Menyuapinya dengan penuh kasih
sayang. Menggendong tubuh suaminya yang semakin ringkih mendekati perapian.
Membuang sisa kotoran suaminya dari atas ranjang. Memandikannya dengan air
hangat. Istri Fram bersumpah akan bertahan hidup, demi suaminya.
Dua belas
bulan berlalu. Musim tak menunjukkan tanda-tanda akan berbaik hati. Kerusuhan
besa menjalar di kota kami. Kecamuk orang-orang yang kelaparan semakin
menjadi-jadi. Dan ditengah kota yang sekarat itu, seorang peziarah-entah dari
mana datangnya-singgah. Peziarah itu amat teganya mengatakan kalimat yang
paling tidak logis agi penduduk kota, semua penyakit aneh ini bisa disembuhkan
dengan memakan daging. Astaga, dimana lagi mereka akan menemukan daging hari
ini? Seluruh ternak tak bersisa. Seluruh cadangan makanan tak berbekas.
Keadaan Fram
semakin menyedihkan. Sehari kemudian, tunuhmya mendadak kejang-kejang. Sekarat.
Istrinya panic. Malam itu juga sambil terseok-seok ia menggendong Fram menuju
kota. Meminta pertolongan tabib. Badai datang menghajar apa saja. Pohon cemara
bertumbangan. Istri Fram mendesis,menggigit bibir berusaha melalui badai salju.
Entah dari mana kekuatan itu, dia tiba dikota keesokan harinya. Dengan tubuh
biru, kedinginan.
Sayang,
tidak ada petolongan yang tersisa di kota. Tabib mengangkat bahu, menatap amat
prihatinnya. “aku tidak tahu, apakah yang dikatakan peziarah itu benar atau
tidak. Berikan suamimu sepotong daging! Semoga itu menyembuhkannya!” istri Fram
sungguh menatap tak percaya. Kecewa. Sedih. Setelah perjalanan melelahkan ini,
ternyata hanya untuk mendengarkan pernyataan gila itu? Gemetar dengan sisa tenaga
ia membawa Fram kembali ke tepi danau. Menyedihakan. Tubuhnya yang semakin
kurus ringkih itu terhuuyung, mencoba terus bertahan.
Jangankan
daging, sepotong umbipun sudah sulit didapat. Ia sudah membongkar seluruh bekas
kebun suaminya. Tidak ada. Kalaupun ada, sudah membusuk. Ikan-ikan di danau itu
juga netah pergi kemana. Istri Fram menangis. Menatap wajah suaminya yang
semakin sekarat. Ia tahu, sesejati apapun cinta mereka, pastilah mengenal
perpisahan. Ia tahu sekali itu. Tapi ia ingin berpisah dengan suaminya dalam
sebuah pelukan yang indah. Saat satu sama lain bisa saling menyebut nama. Bukan
seperti ini. Malam itu suaminya benar-benar tidak tertolong lagi. Istri Fram
tersedu memeluk tubuh suaminya.
Tetapi, hey!
Sudut matanya menangkap seekor belibis hinggap di jendela. Belibis? Istri Fram
menyeka ujung matanya. ganjil sekali. Bagaimana ada seekor belibis dimusim
dingin seperti ini? Tapi ia tidak sempat memikirkannya. Dengan gesit ia
berusaha menangkap belibis tersebut. jatuh bangun berkali-kali. Mantelnya
sobek. Setengah jam berlalu, stelah mengerahkan sisa-sisa tenaga tubuhnya, ia
tersenyum lebar menjepit sayap belibis tersebut.
Malam itu, takdir langit di tepi langit itu berubah. Sepotong
daging yang masuk ke tubuh Fram mengembalikan kesehatannya. Malam itu, takdir
langit di kota kami juga berubah. Musim dingin berkepanjangan tersebut
berakhir. Digantikan semburat cahaya matahari pagi. Gumpalan salju mencair.
Kecambah mekar tak terbilang. Tunah tumbuh menghijau. Janji kehidupan baru
datang.
bagaimana sejauh ini? apakah sudah terlihat apa cinta sejati itu? bagiku sudah cukup dengan istri Fram yang tetap setia merawat suaminya yang hampir memutus kehidupan didunia ini. namun, itu smeua belum terlihat jelas. sesungguhnya puncak dahaga yang membuatku terbawa arus emosi adalah dengan cerita selanjutnya....
to be continued..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar